Prinsip-prinsip belajar dapat mengungkap batas-batas kemungkinan dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat. Selain itu juga berguna untuk mengembangkan sikap yang diperlukan untuk menunjang peningkatan belajar siswa.
Prinsip-prinsip pembelajaran adalah bagian terpenting yang wajib diketahui para pengajar sehingga mereka bisa memahami lebih dalam prinsip tersebut dan seorang pengajar bisa membuat acuan yang tepat dalam pembelajarannya. Dengan begitu pembelajaran yang dilakukan akan jauh lebih efektif serta bisa mencapai target tujuan.
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
Prinsip-prinsip dalam belajar baik bagi siswa yang perlu meningkatkan upaya belajarnya maupun bagi guru dalam upaya meningkatkan kualitas mengajarnya. Prinsip-prinip itu berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual.
- Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar (Gage dan Berliner, 1984: 335). Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang di butuhkan, di perlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya.
Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakan dan mengarahkan aktivitas seseorang. “Motivation is the concept we use when we describe the force actionon or within an organism to initiate and direct behavior” demikian menurut H.L. Petri (Petri, Herbert L, 1986:3). Motivasi dapat merupakan tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, motivasi merupakan salah satu tujuan dalam mengajar. Guru berharap bahwa siswa tertarik dalam kegiatan intelektual dan estetik sampai kegiatan belajar berakhir. Sebagai alat, motivasi merupakan salah satu faktor seperti halnya intelegensi dan hasil belajar sebelumnya yang dapat menentukan keberhasilan belajar siswa dalam bidang pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan.
Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya. Motivasi juga di pengaruhi oleh nilai-nilai yang di anut akan mengubah tingkat laku manusia dan motivasinya.
Motivasi dapat bersifat internal, artinya datang dari dirinya sendiri, dapat juga bersifat eksternal yakni datang dari orang lain.
Motivasi juga di bedakan atas motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan yang di lakukan. Sedangkan, motif ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang ada diluar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi penyertanya.
Motif intrindik dapat bersifat internal, datang dari diri sendiri, dapat juga bersifat eksternal, datang dari luar. Motif ekstrinsik bisa bersifat internal maupun eksternal, walaupun lebih banyak bersifat eksternal. Motif ekstrinsik dapat juga berupa menjadi motif intrinsik yang disebut “transformasi motif”.
2. Keaktifan
Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa di paksakan eloh orang lain dan juga tidak bisa di limahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan, bahwa belajar adlah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri, guru hanya sekedar pembimbing dan pengarah (John Dewey 1916, dalam Davies, 1937:31).
Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekadar menyimpannya saja tanpa mengadakan tranformasi. (Gage ad Barliner, 1984:267). Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu untuk mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang telah di perolehnya. Dalam proses belajar-mengajar anak mampu megidentifikasi, merumuskan masalah, mencari dan menemukan fakta, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan.
Thornidike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum “law of excercise” –nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latiha-latihan. Mc Keachie berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa individu merupakan “manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu, sosial” (Mc Keachie, 1976:230 dari Gredler MEB terjemahan Munandir, 1991:105).
Dalam proses belajar, siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan itu braneka ragam bentuknya. Mulai dari kegiatan fisik yang mudah kita amati sampai kegaiatan psikis yang susah diamati.
3. Keterlibatan Langsung/Berpengalaman
Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siwa tidak sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab trehadap hasilnya.
Pentingnya keterlibatan lansung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan “Learning by doing” –nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif, baik, individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah (problem solving). Guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator.
Keterlibatan siswa di dalam belajar jangan di artikan keterlibatan fisik semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan engan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.
4. Pengulangan
Teori Psikologi Daya menerangkan bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menangggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang. Seperti halnya pisau yang selalu di asah akan menjadi tajam, maka daya-daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan menjadi sempurna.
Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori Psikologi Asosiasi atau Koneksionisme dengan tokohnya yang terkenal Thorndike. Berangkat dari salah satu hukum belajarnya “Law of Exercise”, ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar. Seperti kata pepatah “Latihan menjadikan sempurna” (Thorndike, 1931b:20, dari Gredler, Margareth E Bell, terjemahan Munandir, 1991:51). Psikologi Conditioning yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari koneksionisme juga menekankan pentingnya pengulangan dalam belajar. Kalau pada koneksionisme, belajr adlah pembentukan hubungan stimulus dan respon maka pada psikologi conditioning respons akan timbul bukan karena saja oleh stimulus. Tetapi juga oleh stimulus yang dikondisikan.
Ketiga teori tesebut menekankan pentingnya prinsip pengulangan dalam belajar walaupun dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama pengulangan untuk melatih daya-daya jiwa sedangkan yang kedua dan ketiga pengulangan untuk membentuk respon yang benar dan membentuk kebiasaan-kebiasaan. Walaupun kita dapat menerima bahwa belajar adalah pengulangan seperti yang ikemukakan ketiga teori tersebut, karena tidak dapat dipakai untuk menerangkan semua bentuk belajar, namun prinsip pengulangan masih relevan sebagai dasar pembelajaran. Dalam belajar masih tetap diperluksn latiahan pengulangan. Metode drill dan stereotyping adalah bentuk belajar yang menerapkan prinsip pengulangan (Gage dan Berliner, 1984:259).
5. Tantangan
Teori medan (Field Theori) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin di capai tetapi selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tesebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar talah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar ahruslah menantang. Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bergairah untuk mengatasinya. Bahan belajar yang baru, yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya. Pelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan prinsip-prinsip, generalisai tersebut. Dan belajar yang telah iolah secara tuntas oleh guru sehingga siswa tinggal menelan saja kurang menarik bagi siswa.
Penggunaan metode Eksperimen, inkuiri, discovery juga memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh. Penguatan positif maupun negatif juga akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari hukum yang tidak menyenangkan.
6. Balikan dan Penguatan
Teori belajar Operant Conditioning dari B.F.Skinner. kalau pada teori Conditioning yang diberi kondisi adalah stimulusnya, maka pada operant conditioning yang dipperkuat adlah responnya. Kunci dari teori belajar ini adalah law of effect-nya Thorndike. Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Apalagi, hasil yang baik akn menjadi balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya. Namun dorongan belajar itu menurut B.F.Skinner tidak saj oleh penguatan yang menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenangkan. Atau dengan kata lain penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar (Gage dan Berliner, 1984:272).
7. Perbedaan individual
Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifat-sifatnya.
Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatiakan oleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem penidikan klasikal yang dilakukan di sekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.
Pembelajaran yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbeaan individual dapat diperbaiki dengan beberapa cara. Antara lain penggunaan metode atau strategi belajar-mengajar yang bervariasi sehingga perbedaan-perbedaan kemampuan siswa dapat terlayani. Juga penggunaan media intruksional akan membantu melayani perbeaan-perbedaan siswa dalam belajar. Usaha lain untuk pembelajaran klasikal adalah dengan memberikan tambahan pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi siswa yang pandai, dan memberikan tugas-tugas hendaknya disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa sehingga bagi siswa yang pandai, sedang, maupun kurang akan merasakan berhasil di dalam belajar. Sebagai unsur primer dan sekunder dalam pembelajaran, maka dengan sendirinya siswa dan guru terimplikasi adanya prinsip-prinsip belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar